Kamis, 08 Mei 2014 - 07:30 WIB , Editor: admin
Kampus adalah salah satu tempat untuk melanjutkan proses pendidikan lanjutan setelah masa pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama,dan sekolah menengah atas. Dunia kampus menjadi tempat untuk mengasah kemampuan akademis dan melahirkan orang-orang besar. Karena sebagian besar para pemimpin saat ini tidak terlepas dari dunia kampus. Mereka dilahirkan dari berbagai kampus, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Tidak hanya itu, kampus juga akan melahirkan para penguasaha suskes. Sekarang tinggal tujuan masing-masing pribadi untuk meraih mimpi-mimpi besar yang menjadi impiannya melalui dunia kampus. Argumentasi yang coba dibangun, bahwa kampus tidak boleh ikut-ikutan dengan cara-cara demokrasi praktis ala partai politik, terutama dalam pemilihan kepala daerah. Namun pada kenyataannya kampus, malah berbanding terbalik. Pada tataran praktis, kita semua pasti setuju bahwa kampus memang tidak boleh melakukan cara-cara seperti yang dilakukan oleh para kandidat dalam pilkada, mengumpulkan massa, membentuk tim sukses, survei popularitas, massa pendukung, perang spanduk dan baliho, saling menyerang antar kandidat. Tetapi pada tataran substansial, prinsip-prinsip demokrasi harus tetap dijaga, bahwa penentuan pemenang harus dengan parameter dan standar yang jelas, transparan, dan publik harus memiliki akses terhadap seluruh proses yang berlangsung. Ini penting agar kita tidak kembali pada sistem otokrasi dengan kekuasaan oligarki, yang terbukti sangat manipulatif. Pada tatanan substansial, demokrasi yang dianut dan dipraktekkan di kampus saat ini jauh lebih buruk dari apa yang dipraktekkan di luar kampus. Buktinya mudah terlihat. Sejumlah pertanyaan tidak akan pernah bisa terjawab dalam sistem yang sedang dikembangkan di kampus saat ini. Misalnya: Apakah semua proses berlangsung secara transparan? Apakah seluruh akademik memiliki akses informasi atas seluruh proses yang berlangsung? Apakah proses penjaringan calon dekan di jurusan dan fakultas turut dijadikan sebagai pertimbangan dalam penetapan dekan? Faktor kedekatan secara personal, alasan kebutuhan dukungan (terkait dengan pemilihan rektor periode berikutnya), boleh jadi menjadi pertimbangan-pertimbangan subjektif dalam penentuan dekan, dan tentu saja, sangat jauh dari semangat demokrasi. Dugaan-dugaan semacam ini mudah bertumbuh dan berkembang liar dalam proses yang tidak sepenuhnya berlangsung secara transparan. Akibatnya kemudian, bagi orang-orang yang suka mengejar jabatan, pikiran-pikiran pragmatis telah memenuhi otak dan mempengaruhi mind-set (pemikiran) mereka, bahwa untuk menjadi dekan, tidak perlu capek-capek berprestasi dan bekerja keras untuk berkinerja baik serta membangun hubungan yang lebih harmonis di jurusan dan fakultas, tetapi cukup “menyetor muka” secara intens di gedung rektorat. Kita harus mengubah itu semua. Sebagai mahasiswa kita sudah mempelajari demokrasi dalam mata kuliah pedidikan kewargaan bukan? Oleh sebab itu sebagai mahasiswa demokrasi tidak hanya kita pelajari didalam teori tetapi harus kita praktekkan serta kita wujudkan secara nyata didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa , dan bernegara. Contohnya ,terbukti segala pemilihan di dunia kampus harus berdasarkan sistem demokrasi. Mulai dari pemilihan presiden kampus, ketua organisasi hingga cara pandang dalam memutuskan masalah. Intinya, di semua kampus praktek demokrasi menjadi acuan dalam pemilihan dan memutuskan suatu perkara.. Namun tidak dapat dipungkiri, banyak mahasiswa yang "katanya" mempraktekkan sistem demokrasi padahal realitanya mereka mempraktekkan sistem demograzy. Banyak aksi-aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa berujung pada sistem demograzy. Kekerasan dan kekisruhan dalam ber-demo menjadi solusi utama untuk menyampaikan aspirasi. Padahal, praktek demokrasi tidak sama dengan praktek demograzy. Sebenarnya, jika kita bijaksana dalam memahami sebuah problematika dan persoalan di kampus. Maka kejadian seperti dijelaskan di atas sebenarnya tidak harus terjadi. Dalam menyuarakan pendapat atau aspirasi tidak hanya satu-satunya dengan jalan demo. Banyak cara lain yang lebih baik untuk dilakukan dalam menggunakan hak berdemokrasi. Diantaranya berdialog dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan, berdiskusi dengan pihak kampus tentang apa yang tidak sesuai dengan harapan mahasiswa. Menurut penulis, demo merupakan solusi terakhir yang mestinya dilakukan. Karena demonstrasi lebih banyak sisi negatif yang didapatkan dibandingkan sisi positif. Tetapi, mahasiswa masih mennganggap demo sebagai solusi utama untuk menyelesaikan masalah dalam dunia kampus. Cara inilah yang sering dilupakan oleh sebagian besar mahasiswa dalam menyuarakan pendapat. Mereka lebih memilih cara berdemonstrasi daripada budaya berdiskusi. Padahal masalah tidak akan mencapai solusi bila diselesaikan dengan kekerasan. Bahkan bisa menimbulkan persoalan-persoalan baru yang tidak diinginkan. Akan tetapi, masalah akan bisa diselesaikan bila dihadapi dengan kepala dingin dan cara-cara yang mengedepankan prinsip kedamaian. Maka dengan menerapkan budaya diskusi maka mahasiswa diuntungkan. Oleh karena itu, budaya diskusi atau berdialog harus menjadi "makanan" sehari-hari mahasiswa dalam menyelesaikan persoalan. Cara ini jauh lebih baik dari pada hanya dengan berorasi. Cara ini pula jauh lebih efektif dan menghasilkan keputusan yang nyata dari pihak birokrasi. Penulis: Silfia Alfitri Jurusan PAI Semester II Fakultas Tarbiah Dan Keguruan Universitas Sultan Syarif Qasim Riau
(nasional/admin)
Sumber : https://tribunterkini.com/