Rabu, 13 November 2019 - 16:42 WIB , Editor: ruben
Pekanbaru | Tribunterkini- Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sejak Dini yang dihadiri Gubri Syamsuar dalam hal ini diwakili Pj. Sekdaprov Riau Ahmad Syahrofi, bersama Asisten Deputi PHP dari KDRT, KPP-PA Ali Khasan, SH, M.Si, di Hotel Premiere Pekanbaru, Rabu (13/11/2019).
Dalam Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sejak Dini ini di hadiri Gubernur Riau yang dalam hal ini diwakili Pj. Sekdaprov Riau Ahmad Sharofi, Ali Khasan, SH, M.Si Asisten Deputi PHP dari KDRT, KPP-PA, Kadis PPPA Provinsi Riau Tengku Hidayati Efiza, Unit PPA Polda Riau Iptu Marito Siregar, Forum Anak Riau, BKMT, BKOW, PKK, Dharma Wanita, MUI, NU, Organisasi Kepemudaan Se Provinsi Riau, PMI Kota, BEM Mahasiswa Se Riau, Muslimah, Srikandi, IWAPI, DPPA Kota, Dinas Pendidikan Kota dan Provinsi, Dispora Riau, RSUD Arifin Ahmad, RSUD Petala Bumi, PW Salimah, MDI, FKP, Puspa Lancang Kuning, Purna Paskibraka Riau, Muhammadiyah, FPEK, PPSW, PMI Remaja Se Riau, KPA Riau, HWDI, dan yang dihadiri 250 orang peserta.
Dalam kata sambutan Asdep PHP (Perlindungan Hak Perempuan) dari KDRT Ali Khasan, SH, M.Si menyampaikan, saya menyambut baik diselenggarakan kegiatan sosialisasi ini mengingat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dalam setiap tahunnya. Berdasarkan CATAHU Komnas Perempuan yang dilaunching tanggal 6 Maret 2019 menyebutkan bahwa jumlah kasus KtP tahun 2019 sebesar 406.178. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 348,466. Berdasarkan data tersebut, jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah KDRT/Ranah Personal yang mencapai angka 71% (9.637). Posisi kedua KtP diranah komunitas/publik dengan presentase 28% (3.915) dan terakhir KtP di ranah negara dengan persentase 0,1% (16).
Pada ranah KDRT/Ranah personel kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 3.927 kasus (41%), kemudian kekerasan seksual sebanyak 2.988 kasus (31%), psikis 1.658 (17%) dan ekonomi 1.064 kasus (11%).
Sedangkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2016 menunjukkan bahwa: 1 dari setiap 3 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan tisik atau kekerasan seksual; 1 dari setiap 4 perempuan yang pernah/ sedang menikah pemah mengalami kekerasan berbasis ekonomi; dan 1 dari 5 perempuan yang pernah/ sedang menikah mengalami kekerasan psikis.
Angka-angka tersebut sudah lebih dari cukup untuk meyakinkan kita bahwa KDRT merupakah masalah yang serius untuk dicarikan solusinya. Oleh karena itu, perlu meningkatkan pemahaman, persamaan persepsi dan komitmen bersama dari para pemangku kepentingan dalam upaya memberikan perlindungan dan penanganan korban KDRT sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga Provinsi Riau dapat bebas dari KDRT.
Kemudian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Domestic Violence), dimana kasus-kasus KDRT memiliki modus dan karakteristik yang makin beragam dan makin menghawatirkan banyak pihak. Hal itu, selain karena KDRT menyentuh rasa kemanusiaan dan keadilan sosial, juga karena KDRT bisa menimpa rumah tangga siapa saja termasuk rumah tangga kita. Namun demikian masyarakat Indonesia pada umumnya masih menganggap bahwa KDRT merupakan urusan pribadi rumah tangga yang bersangkutan, sehingga tidak perlu dilaporkan baik karena alasan malu, tabu atau karena alasan lainnya. Kasus KDRT yang dulu dianggap mitos dan persoalgn pribadi, kini menjadi urusan publik yang nyata dan telah dlatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Faktor dominan yang menjadi penyebab KDRT adalah faktorfaktor yang bers'fat kolektif atau multy factors, oleh karena itu solusi yang diperlukan juga terdiri dari banyak faktor dan perlu melibatkan banyak pihak. Misalnya kesiapan dalgm membangun rumah tangga, kedewasaan calpn pengantm, kesiapan ekonomi, pengetahuan masing-masing pasangan, lingkungan keluarga, lingkungan sosial, budaya dan lajn-lajn.
“Dewasa ini kekerasan terhadap perempuan di dunia maya, yang diadukan kc Komnas Perempuan merupakan bentuk intimate partner violence, entah kekerasan dalam pacaran atau KDRT. dengan prosentase terbesar di 61%. Pelaku juga yang paling banyak adalah pacar/ mantan pacar/ suami/ mantan suami, sehingga kekerasan terhadap perempuan di dunia maya memodiflkasi sebagaj kekerasan dalam rumah tangga yang baru, atau bisa juga dikatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga meluas bentuknya melalui dunia maya, dengan semakin berkembangnya teknologi internet.
Dengan semakin tingginya penggunaan media sosial baik untuk komunikasi pribadi maupun ruang bisnis dan propaganda politik, maka Cyber Violence Against Women menjadi semakin merambah dan mengancam ruang privat dari individu, termasuk perempuan. Distribusi informasi di dunia siber sangatlah agresif. Sebuah informasi berupa gambar, tulisan, maupun video yang bersifat privat dapat menjadi viral dalam tempo sekejab dan diakses oleh jutaan pengguna internet dan media sosial di seluruh dunia, ujar Ali Khasan.
Kita tahu bahwa isu KDRT mcrupakan cross-cutting issues yang penyelesaiannya melibatkan berbagaj sektor dan upaya mencari solusinya perlu mempertimbangkan aspek sosial, budaya, ekonomi dan agama.
Ali Khasan menuturkan, dalam upaya mengantisipasi terjadinya berbagaj kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut di atas, KPP-PA telah merumuskan dan menetapkan strategi Three Ends, atau akhiri tiga hal, yaitu:
1. Akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak;
2. Akhiri perdagangan orang; dan
3. Akhiri ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan.
Penghapusan KDRT termasuk dalam strategi yang pertama, masing-masing strategi dapat dijeaskan sebagai berikut:
Pertama- akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, ditandai dengan:
1. Informasi hak perempuan dan anak menjangkau seluruh masyarakat Indonesia;
2. Berfungsinya kelembagaan di tingkat desa untuk memastikan pemenuhan hak perempuan dan anak;
3. Berfungsinya Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak di Daerah;
4. Dukungan yang massif dari pemangku kepentingan (K/L, Pemda, Lembaga Masyarakat).
Kedua- akhiri perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, ditandai dengan:
1. Terbangunnya sistem deteksi anti perdagangan manusia (perempuan dan anak);
2. Meningkamya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam sistem deteksi anti perdagangan manusia.3.Terbangunnya sinergi antar pemangku kepentingan dalam pcnanganan kasus perdagangan manusia melalui Gugus tugas PTPPO;
4. Memastikan setiap calon TKW mendapatkan pelatihan yang mcmadai.
Ketiga- akhiri ketidak-adilan akses ekonomi bagi perempuan, ditandai dengan:
1. Memastikan K/L terkait menjalankan program pelatihan bagi perempuan pelaku usaha;
2. Memastikan setiap perempuan berhak mendapatkan akses permodalan melalui lembaga keuangan;
3. Menyiapkan sistem permodalan alternatif bagi perempuan pelaku usaha mikro;
4. Mengembangkan dukungan dana/sarana alternatif bagi pcrempuan inovator.
Selain itu, dalam upaya meningkatkan komitmen dan pemahaman para pemangku kepentingan dan masyarakat terkait Penghapusan KDRT telah dilakukan berbagai kegiatan, yaitu:
1. Forum Koordinasi Implementasi UU PKDRT;
2. Gerakan Bersama (GEBER) Stop KDRT;
3. Sosialisasi Pencegahan KDRT Sejak Dini;
4. Pelatihan Bagi APH Yang Responsif Hak Perempuan Korban KDRT;
5. Pelatihan Mediasi Yang Bersertifikat Bagi Unsur UPTD/P2TP2A;
6. Pelatihan Input Data SIMFONI dari Unsur Dinas PPPA Kab/ Kota dan Provinsi;
7. Pelatihan Manajemen Kasus KDRT;
8. Penyusunan Pedoman Evaluasi PKDRT;
9. Pengembangan Model Desa/ Kelurahan Bebas KDRT;
10. Iklan Layanan Masyarakat Stop KDRT.
Akhirnya kami tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada Kepala Dinas PPPA Provinsi Riau beserta jajaran yang telah membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan ini. Begitu pula kepada para Narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk mengisi kegiatan ini serta kepada para peserta yang telah mengikuti kegiatan ini kami mengucapkan terima kasih. Semoga upaya kita untuk memberikan perlindungan dan pememwhan hak korban KDRT mendapat ridho dari ’I‘uhan Yang Maha Kuasa, ujar Ali Khasan.
Kemudian Gubri Syamsuar dalam hal ini diwakili Pj. Sekdaprov Riau Ahmad Syahrofi menyampaikan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan kejadian atau peristiwa yang dapat merusak sendi-sendi utama dalam ketahanan keluarga dimana korban terbanyaknya adalah kaum perempuan dan anak yang secara fisik tergolong lemah. Selain mengancam keberlanjutan kehidupan didalam rumah tangga, KDRT juga memiliki pengaruh negatif terhadap siklus kehidupan dan tumbuh kembang anak.
Hal ini perlu mendapat perhatian kita bersama agar upaya perlindungan tidak berjalan parsial. Harus ada partisipasi seluruh elemen bangsa mulai dari pemerintah, lembaga masyarakat, insan media, dunia usaha, dan masyarakat agar perempuan dan anak terhindar dari segala bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan serta perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan lainnya, ujar Pj. Sekdaprov Riau Ahmad Syahrofi.
Pada Tahun 1993 merupakan tonggak sejarah diakuinya Kekerasan terhadap perempuan telah menjadi isu lintas negara, karena pada tahun tersebut melalui Sidang Umum PBB ke 85 telah melahirkan Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Pada Deklarasi yang disepakati negara-negara anggota, termasuk Indonesia tersebut, menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi dan kebebasan fundamental terhadap kaum perempuan. Kekerasan tersebut berakar dari terjadinya relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang dapat terjadi di dalam rumah, di lingkungan kerja maupun di masyarakat, ujar Pj. Sekdaprov Riau Ahmad Syahrofi.
Penanganan kasus KDRT merupakan tindakan untuk memberikan perlindungan pada perempuan dan anak sebagai kelompok rentan. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Karena pada prinsipnya Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah tindakan atau perbuatan yang dapat mencederai orang, baik fisik maupun psikis atau seksual dan penelantaran.
Dalam rangka melakukan upaya perlindungan, selain melalui penerbitan Undang-Undang dan produk hukum lainnya, Pemerintah juga telah menginisiasi pembentukan lembaga layanan terpadu yang melibatkan masyarakat dan lembaga profesi dalam bentuk Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), ujar Pj. Sekdaprov Riau Ahmad Syahrofi.
Mengingat pentingnya peran lembaga layanan tersebut bagi pemenuhan hak dan perlindungan kaum Perempuan serta Anak, maka Pemerintah pada tahun 2018 melalui Permen PP PA RI Nomor 4 Tahun 2018, meningkatkan kelembagaan P2TP2A menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD-PPA), yang di Provinsi Riau telah terbentuk di 12 Kabupaten/Kota.
Kami menyadari bahwa semua kebijakan ini tidak akan optimal bila kurang didukung komitmen dan sinergi segenap elemen bangsa. Maka dari itu di pagi ini, kami dari Pemerintah Provinsi Riau menyambut baik pelaksanaan kegiatan yang bertujuan meningkatkan pemahaman dan kesadaran kita tentang ketahanan keluarga serta pentingnya peran seluruh pihak dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga. Semoga apa yang menjadi cita-cita dan harapan kita bersama, mewujudkan Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur dapat terwujud dalam bingkai kebhinekaan yang selaras dengan kearifan budaya lokal serta norma agama. Aamiin Yaa Rabbal alamin.
Untuk itu, atas nama pribadi dan Pemerintah Provinsi Riau, kami mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang komit membantu kami dalam pengoptimalan upaya pemenuhan hak dan perlindungan perempuan serta anak di bumi Lancang Kuning, Provinsi Riau yang kami cintai ini, ujar Pj. Sekdaprov Riau Ahmad Syahrofi yang mewakili Gubri H. Syamsuar. ***(Ruben).
(Pekanbaru/ruben)
Sumber : https://tribunterkini.com/