Jumat, 07 Desember 2018 - 07:30 WIB , Editor: admin,
PEKANBARU- Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Salah satu kondisi tersebut dapat terwujud dengan dilaksanakannya penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi kelangsungan dan keberhasilan pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi segenap masyarakat yang ada, antara lain pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang terjadi akhir-akhir ini merupakan suatu fenomena kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama, yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan dengan menerapkan berbagai peraturan yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga dapat melahirkan pertanggungjawaban pidana yang adil dan berkepastian hukum.
Tindak pidana korupsi bukan hanya masalah hukum tetapi telah menjadi persoalan ekonomi, budaya dan politik. Menurut Susan Rose-Ackerman, aspek ekonomi dari korupsi antara lain pembayaran yang mempersamakan penawaran dan permintaan, suap sebagai insentif pembayaran untuk birokrat, suap untuk mengurangi biaya, kejahatan dan korupsi yang terorganisir, pembayaran untuk memperoleh kontrak dan konsesi besar kepada pejabat tinggi; aspek budaya antara lain korupsi merupakan patronase dengan wujud upeti, hadiah dan suap; dan aspek politik antara lain kleptokrasi, monopoli bilateral dan negara-negara yang didominasi mafia dan suap kompetitif. Dengan perkataan lain bahwa korupsi sudah terjadi dan dilakukan dalam berbagai dimensi pelaku dan lingkup antar negara.
Meningkatnya tindak pidana korupsi sejak orde lama, orde baru dan orde reformasi yang melahirkan pengelolaan anggaran yang desentralisasi dan tidak terkendali telah membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya tetapi dapat menimbulkan berbagai kelemahan kehidupan generasi yang akan datang seperti kolusi anggaran antara legislatif dengan eksekutif demi persetujuan dan pencairan anggaran untuk memperoleh komisi, kemudian kolusi antara penegak hukum dengan eksekutif agar proyek mark up tidak diungkap dengan membagi saham proyek.
Eeduardo Vetere, Director Division of Treaty Affairs United Nation Office on Drugs and Crime dan Executive Secretary Eleventh United Nation Congress on Crime Prevention and Criminal Justice (Direktur Urusan Perjanjian Divisi Kejahatan dan Obat-obatan PBB serta Sekretaris Eksekutif Kongres Kesebelas Pencegahan Kejahatan PBB) dalam kata sambutannya kepada Delegasi RI yang aktif terlibat dalam pembahasan Convention Against Corruption dan kepada Koordinator Forum 2004 menyatakan akibat dari korupsi antara lain:
The greatest impact of corruption is on the poor, those least able to absorb its costs. By legally diverting state fund, corruption undercuts service, such as health, education, public transportation or local policing. But corruption also threatens the prospects for economic investment, all types of companies large or small, multinational and local, perceive corruption as detrimental to bussiness, as it undermines legitimate economic competition and the rule of a free market economy.
(Dampak korupsi terbesar adalah pada kemiskinan, karena orang-orang itu yang paling tidak mampu kurang menyerap biaya. Dengan mengalihkan APBN secara resmi, korupsi dapat memotong layanan jasa, seperti kesehatan, pendidikan, transportasi umum atau kebijakan lokal. Korupsi juga mengancam prospek investasi ekonomi, yang mempengaruhi semua jenis perusahaan baik besar atau kecil, multinasional atau lokal, korupsi disadari merugikan dunia usaha, yaitu mempersulit peraturan ekonomi pasar bebas dan persaingan ekonomi yang sah).
Bentuk-bentuk kerugian keuangan negara tersebut antara lain: pengeluaran suatu sumber atau kekayaan negara atau daerah (dapat berupa uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan; pengeluaran suatu sumber atau kekayaan negara atau daerah lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku; hilangnya sumber atau kekayaan negara atau daerah yang seharusnya diterima (termasuk di antaranya penerimaan uang palsu, barang fiktif); penerimaan sumber atau kekayaan negara atau daerah lebih kecil atau rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitasnya tidak sesuai); timbulnya suatu kewajiban negara atau daerah yang seharusnya tidak ada; timbulnya suatu kewajiban negara atau daerah yang lebih besar dari yang seharusnya; hilangnya suatu hak negara atau daerah yang seharusnya dimiliki atau diterima menurut aturan yang berlaku; dan hak negara atau daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima.
Dengan demikian cukup banyak kerugian yang diderita negara dan tentunya menjadi kerugian masyarakat pula dan seharusnya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dipetakan semua pelaku korupsi dalam segala posisi tentunya untuk mempertanggungjawabkan secara pidana.
Menurut Transparency Internasional adanya kebiasaan untuk memperoleh proyek dari pemerintah dengan cara menyuap terlebih dahulu para penyelenggara pemerintah dan pegawai negeri sipil memicu lemahnya kinerja proyek tersebut dan merugikan keuangan negara, hal itu sejalan dengan dampak korupsi tidak hanya masalah timbulnya kerugian keuangan negara karena digunakan secara salah atau dimanipulasi pada berbagai proyek dan pembiayaan pembangunan.
Dampak korupsi jauh lebih dahsyat dari itu, dalam perspektif ekonomi ada beberapa dampak korupsi yang bisa diidentifikasi antara lain: pertama, terjadinya inefisiensi hingga menyebabkan biaya ekonomi tinggi, yang beban keseluruhannya harus ditanggung oleh konsumen; kedua, terjadinya eksploitasi dan ketidakadilan distribusi pada sumber daya dan dana pembangunan karena hanya elit kekuasaan dan para pemilik uang saja yang bisa mengakses berbagai sumber daya dan dana itu; ketiga, terjadinya inefektivitas dan inefisiensi pada birokrasi pemerintahan karena insentif menyebabkan watak birokrasi pemerintahan tidak efektif. Mereka tidak punya sensitivitas untuk melayani kepentingan publik dan selalu mencuri rente bagi kepentingan sendiri atas kewajiban yang seharusnya dilakukan yang pada akhirnya insentif ini akan berujung pada inefisiensi dan perubahan watak pelayanan birokrasi; keempat, terjadinya pencurian dan perusakan sumber daya alam tetapi aparat penegak hukum dan birokrasi terlibat dan menjadi bagian dari keseluruhan proses itu sehingga para pelaku pidana tidak ada yang bisa diseret ke Pengadilan; kelima, terjadinya penurunan tingkat investasi modal sehingga pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pemasukan negara.
Tindak pidana korupsi yang terjadi dalam berbagai lapisan masyarakat tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat (crime against welfare state). Randy Rizki dan Lukman Hakim menyatakan bahwa umumnya kerugian terjadi dalam pengelolaan keuangan negara, terkait dengan asersi pertama, exsistense (keberadaan) yakni pengadaan fiktif, pengeluaran untuk kegiatan yang tidak pernah ada, kedua, right and obligation(hak dan kewajiban) yakni hilangnya dan atau berkurangnya hak entitas secara tidak wajar, bertambahnya dan atau munculnya kewajiban yang tidak wajar, ketiga, valuation or allocation(alokasi dan penilaian) yakni penggelembungan nilai asset (mark-up), pembebanan pengeluaran pada pos-pos yang tidak semestinya, dan karena itu tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Pemberantasan tindak pidana korupsi kini sudah merupakan komitmen pemerintah di seluruh negara dan dilakukan secara global. Hal ini terbukti dengan diselenggarakannya dua kali Konferensi Dunia tentang Strategi Global Anti Korupsi yang telah diikuti oleh Kepala Pemerintahan dan pejabat setingkat menteri dari kurang lebih 150 negara, yang diselenggarakan di Washington DC Amerika Serikat pada tahun 1999 dan di Den Haag Belanda pada tahun 2001. Komitmen untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi sedunia tersebut telah menegaskan kembali pentingnya kerjasama seluruh negara untuk memberantas korupsi yang bersifat nasional lintas batas teritorial maupun yang berdampak internasional dengan segala dimensi pelakunya. Hal tersebut diwujudkan dengan diberlakukannya UNCAC 2003 terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan subjek hukum yang diperluas, melakukan percobaan dan penyertaan serta pertanggungjawaban pidana yang diperbarui, kerjasama internasional yang lebih terbuka antara negara pemohon dan yang dimohon, dan pembekuan aset korupsi di dalam dan di luar negeri.
Jawaban atas komitmen tersebut tidak terlepas dari pesatnya perkembangan dan globalisasi dalam bidang ekonomi yang mempunyai dampak bermunculannya pelaku kejahatan baik termasuk materiele dader (pelaku materil/lapangan) maupun proximately yang semakin besar jumlah dalam kejahatan-kejahatan baru di bidang ekonomi baik yang predicate crime-nya (kejahatan asal) korupsi maupun tindak pidana lainnya misalnya penipuan dan penggelapan pajak, tindak pidana perbankan, illegal logging (pembalakan liar).
Dengan demikian terjadi suatu gejala baru tipologi kejahatan yang tidak saja meliputi negara-negara industri, tetapi juga negara dunia ketiga atau negara berkembang (development countries) seperti halnya Indonesia ini, karena tindak pidana korupsi pada umumnya tumbuh sumbur di dalam suatu negara yang memiliki sumber daya ekonomi dan alam yang potensial dan miskin moral, pengetahuan dan kesadaran terhadap kemakmuran bersama. Karakter pokoknya tindak pidana korupsi selalu dilakukan secara bersama-sama dalam lingkungan yang selalu tertutup dan saling menjaga atau melindungi sesama pelaku.
Karakteristik tindak pidana di bidang ekonomi seperti korupsi dan lainnya dengan kerugian yang sangat besar harus dapat dicegah dan diberantas sejalan dengan pernyataan Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New International Economic Order (pedoman prinsip-prinsip pencegahan kejahatan dan pembinaan dalam konteks pembangunan dan ketentuan tata ekonomi dunia baru) pada Kongres PBB ke VII tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelaku (Tindak Pidana) di Milan, Italia Tahun 1985. Disebutkan dalam Kongres itu, agar setiap negara harus waspada terhadap industry crimes (kejahatan industri) dan economic crimes (kejahatan ekonomi), yang dinyatakan sebagai berikut:
The law governing the functioning of business enterprises should be reviewed and strengthened as necessary to ensure their effectiveness for preventing, investigating and prosecuting economic crime. In addition, consideration should be given to having complex cases of economic crime heard by judges familiar with accounting and other business procedures. Adequate training should also provided to officials and agencies responsible for the prevention, investigation and prosecution of economic crimes.
(Hukum yang memerintah fungsi dunia bisnis harus ditinjau kembali dan diperkuat sebagaimana kebutuhan untuk menjamin efektivitas pencegahan, investigasi, dan penuntutan kejahatan ekonomi. Selanjutnya, pemahaman semacam itu harus diterima hakim dalam menangani kejahatan ekonomi yang kompleks melalui prosedur akunting dan prosedur bisnis lainnya. Pelatihan yang memadai juga harus diberikan untuk pejabat dan instansi yang bertanggung jawab untuk pencegahan, penyelidikan, serta penuntutan terhadap kejahatan ekonomi).
Berbagai modus operandi korupsi banyak sekali dilakukan oleh pengusaha untuk mempengaruhi para penguasa, di samping itu memang ada modus operandi yang klasik dilakukan para pejabat misalnya penggelapan dana masyarakat (embezzlement of public funds), namun yang melibatkan dua pihak biasanya adalah suap (bribery), perbuatan curang (fraud) dan penerimaan secara tidak sah (kickbacks).
Kegiatan semacam ini juga dilakukan oleh pihak swasta dan karena itu dapat dibedakan antara bureaucratic corruption dan private corruption. Apa yang menyamakan kedua jenis korupsi ini dan juga kejahatan ekonomi adalah bahwa para pelakunya adalah pemegang kuasa dalam masyarakat, baik kuasa pemerintahan (public power) maupun kuasa ekonomi (economic power). Oleh karena kuasa ini, pada dasarnya dipegang atau diperolehnya atas dasar kepercayaan masyarakat (public trust), maka penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) ini mempunyai dampak luas. Hampir semua pelaku korupsi melibatkan banyak pelaku dengan tingkat jabatan dan kududukan yang bertingkat-tingkat. Kendala yang ada dalam pemberantasan korupsi UUPTPK tidak mengatur mengenai penyertaan secara mandiri. Subjek tindak pidana korupsi tidak hanya pejabat publik tetapi juga pelaku swasta sebagaimana diamanatkan Pasal 12 ayat (1) UNCAC 2003. Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) bahwa pihak swasta dapat ditarik sebagai subjek hukum secara pribadi atau badan hukum dan secara mandiri antar swasta atau bersama-sama dengan penyelenggara negara (pejabat publik).
Keterlibatan pihak swasta dalam tindak pidana korupsi sangat dahsyat di Indonesia, berdasarkan pernyataan Deputi Bappenas Himawan Adinegoro bahwa dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Tahun 2010 sebesar 107 triliun yang digunakan untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah ditengarai inefisiensi sebesar 20%. Inefisiensi terjadi antara lain dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yakni belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi telah memeriksa 50 perkara dengan nilai proyek 1,9 triliun dengan modus operandi 94% penunjukkan langsung dan sisanya 6% dengan penggelembungan harga (mark up). Dengan demikian artinya dari 50 kasus ini saja yang baru ditangani potensi kerugian negara sudah sebesar 35% atau Rp. 700 miliar, apalagi apabila terungkap semua, maka selain kerugian negara maka berapa banyak pelaku yang seharusnya mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
Penanggulangan tindak pidana korupsi sekalipun diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit dalam penanggulangan maupun pemberantasannya, sehingga termasuk extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), karena dilakukan bersama-sama oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kedudukan yang terhormat.
Terdapat cukup banyak fakta, laporan, pernyataan, hasil riset dan statistik serta penilaian dari berbagai pihak yang dapat digunakan untuk mendukung pernyataan bahwa korupsi dilakukan bersama-sama antara pemegang kewenangan/kebijakan/kekuasaan (pejabat publik) tertinggi domestik hingga terendah, kemudian pejabat swasta dengan pejabat publik, pejabat publik domestik dengan pejabat publik asing/organisasi internasional, antar pelaku usaha swasta yang belum diungkap tuntas.
Berdasarkan data yang ada memperlihatkan trend yang meningkat akhir-akhir ini, yang paling banyak ditemukan adalah kasus menjelang pemilu dan pilkada (pemilihan kepala daerah) di mana anggaran yang digunakan banyak terserap untuk kegiatan pesta demokrasi, yakni korupsi dilakukan bersama-sama antara incumbent (pejabat lama/sebelumnya) dengan konstituen misalnya penggunaan fasilitas negara, uang negara dengan menggunakan wewenang menyimpang bersama-sama dengan staf pemerintah daerah; korupsi pasca pemilihan dengan swasta yang menagih proyek yang hendak dikerjakan.
Korupsi bersama-sama juga terjadi pada saat di mana situasi mendesak penyerapan anggaran akhir tahun misalnya terjadi pada akhir pertanggungjawaban keuangan pemerintah, contohnya kinerja proyek tidak sesuai dengan bestek (rencana induk) dan biaya menggelembung tak terukur jika kegiatan yang diikuti lintas sektoral seperti pemilihan umum yang melibatkan banyak peran dan dilakukan secara sadar dan bersama-sama.
Pengendalian Korupsi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di wilayah Asia Selatan, mengilustrasikan adanya ketidakberdayaan Indonesia memerangi korupsi yakni skornya kurang dari 40% dibandingkan negara Asia Selatan (India dan Pakistan serta Cina dan Korea Selatan) salah satunya yang utama adalah pemberantasan korupsi yang tidak optimal. Penegakan hukum di Indonesia dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi melahirkan ketidaktegasan dan ketidaksetaraan di depan hukum (equality before the law) sesuai prinsip-prinsip Negara Hukum, yakni di satu sisi berbagai upaya dan kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi dan upaya masyarakat internasional dalam menentang korupsi tersebut, tidak sinergis dengan capaian hasilnya karena banyak pengungkapan kasus-kasus korupsi di Indonesia tidak menyeret semua koruptor yang terlibat ke pengadilan atau lebih dikenal dengan istilah tebang pilih, serta beberapa kasus korupsi yang melibatkan warga negara asing yang masih dark number (belum terungkap) (vide Pasal 16 ayat (1) dan (2). Apabila hal ini terjadi dibiarkan terus menerus terjadi, sudah barang tentu merupakan kendala dalam upaya optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi di masa mendatang dan mencederai kepastian hukum dan keadilan yang menjadi asas dan tujuan penerapan hukum pidana yang terkenal sanksinya sangat keras itu. Selain dari itu, harkat dan martabat bangsa kian terpuruk di mata bangsa asing yang cenderung meremehkan birokrasi dan pemerintahan di Indonesia.
Dari uraian terrsebut di atas, dapat dikemukakan bahwa korupsi telah merugikan masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di bawah kemiskinan dengan mengalihkan dana yang ditujukan untuk pembangunan, melemahkan kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dasar, dan menghalangi bantuan atau investasi asing yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, hubungan antara korupsi dan HAM sering dianggap sebagai satu mata uang dengan dua sisi. Artinya, korupsi yang melumpuhkan suatu negara merupakan pertemuan antara kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi HAM warga negaranya di satu sisi dan sekaligus pengabaian untuk pemenuhan kewajiban tersebut di lain sisi.
Di sinilah makna peringatan Hari Antikorupsi Internasional bagi bangsa kita yang diperingati setiap tanggal 9 Desember dengan euforia yang diserukan oleh seluruh lapisan masyarakat bahwa Korupsi harus dibasmi, meski ada perlawanan keras dari para koruptor yang umumnya melibatkan pejabat, dunia usaha, politisi dan kekuasaan. Indonesia akan mampu menjadi negara maju jika korupsi dapat ditekan semaksimal mungkin, jika tak bisa dihilangkan seluruhnya.
Mari kita berantas korupsi, kita dituntut berusaha menjadi baik, ya harus menjadi baik; bisa membedakan yang baik dan benar; jika kita melihat sesuatu yang tidak baik dalam pekerjaan, jauhilah, berusahalah untuk menjadi yang lebih baik. Katakan TIDAK UNTUK KORUPSI dan menjadi yang terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Mari kita BERANTAS KORUPSI, kalau bukan kita, siapa lagi! Kalau bukan sekarang, kapan lagi!. (Ruben).
(Sumber: DR. MIA AMIATI, SH, MH adalah Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Riau).
(nasional/admin)