Nasional

Menuju Provinsi Riau Yang Lebih Berkah

Senin, 29 Juli 2019 - 06:45 WIB , Editor: admin,

Pekanbaru Tribunterkini- Pada hari Jumat, 09 Agustus 2019, Provinsi Riau akan menanjak ke usia 62 tahun (1957 - 2019). Setengah abad lebih. Suatu perjalanan yang tidak bisa dianggap singkat. Pasti telah banyak prestasi yang diraih, namun juga tidak sedikit harapan yang belum terpenuhi. Ketika Presiden Soekarno menandatangani UU Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tanggal 09 Agustus 1957 tentang Pembentukan Provinsi Riau, dapat kita pastikan bahwa ketika itu masyarakat Riau dalam kondisi yang serba tertinggal. Dalam berbagai hal. Tidak saja karena Riau yang sebelumnya tergabung dalam Provinsi Sumatera Tengah jauh dari pusat kekuasaan, karena pusat kekuasaan ketika itu lebih terfokus di Sumatera Barat. Lebih dari itu, masyarakat di Sumatera, termasuk Riau, direpotkan oleh aksi pemberontakan PRRI. Meski gagal memisahkan diri dari Jakarta (Jawa), tapi paling tidak (antara lain) karena kasus PRRI, Pemerintah Pusat akhirnya memutuskan untuk memecah Provinsi Sumatera Tengah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Bagi Pemerintah Pusat di bawah kepemimpinan Bung Karno, dipecahnya Provinsi Sumatera Tengah adalah bagian dari strategi untuk melemahkan perjuangan PRRI. Tapi bagi masyarakat Riau dan Jambi, keputusan ini adalah mimpi yang jadi kenyataan. Tersebab sudah bertahun - tahun masyarakat kedua daerah ini berjuang untuk membentuk provinsi sendiri. Dari beberapa literatur sejarah, pemecahan Provinsi Sumatera Tengah sebenarnya juga disesali dan ditentang beberapa pihak. Terutama oleh beberapa tokoh PRRI. Apalagi Riau yang dianggap sangat strategis. Alamnya kaya raya. Dari dulu Riau sudah terkenal akan kekayaan alamnya (SDA). Terutama minyak yang mengalir hampir di seluruh perut bumi Riau. Selain secara geografis memiliki letak yang sangat strategis, karena berbatasan langsung dengan negara tetangga dan berada di tepi Selat Melaka yang menjadi jalur perdagangan dunia. Namun apa hendak dikata. Lepas dari Provinsi Sumatera Tengah, ternyata Riau dalam perjalanannya tetap berada dalam cengkeraman Pemerintah Pusat. Ibarat kata, satu helai daun pun yang gugur di Tanah Melayu Riau, harus tetap dalam pantauan Pemerintah Pusat di Jakarta. Tersebab itu jugalah, meski rezim berganti, dari Soekarno ke Soeharto, puluhan tahun berjalan, kekayaan alam Riau yang luar biasa itu hampir tidak ada pengaruhnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Riau sendiri. Minyak yang bermilyar barel hasilnya mengalir saja ke Jakarta. Hutan yang sangat luas juga dikapling - kapling oleh penguasa ketika itu. Masyarakat Riau tetap bergelut dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Bahkan, pembangunan infrastruktur dalam berbagai sektor sempat sangat jauh tertinggal, khususnya dari provinsi tetangga Sumatera Barat. Runtuhnya Pemerintahan Orde Baru dan bertiupnya angin reformasi pada 1998 ternyata membawa harapan baru bagi Negeri Lancang Kuning. Desakan berlakunya otonomi daerah menguat dimana - mana. Sistem sentralisasi di bawah rezim orde baru dianggap sangat tidak demokratis bagi NKRI yang sangat luas ini. Maka, sejak keluarnya UU Nomor 22/1999 tentang Pemda dan UU Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, sistem desentralisasi pun mulai berlaku. Kedua UU ini benar-benar membawa berkah bagi Riau. Orang Riau pun mulai berani meneriakkan bahwa pejabat di Riau, mulai dari gubernur sampai ke tingkat yang paling rendah, harus putra asli Riau. Karena puluhan tahun lamanya, mayoritas pejabat di Riau adalah “impor” dari luar Riau. Hasil kekayaan alam juga mulai mengalir di Tanah Melayu. Melalui UU Perimbangan, misalnya, Riau menangguk untung besar dari Dana Bagi Hasil (DBH) Migas. APBD Provinsi Riau yang dulunya cekak, kini mulai merangkak naik. Bahkan pernah mencapai angka belasan triliun!. Riau mulai berbenah. Banyak proyek infrastruktur dibangun. Tidak sedikit juga anak-anak Riau yang disekolahkan, diberi beasiswa bahkan sampai ke luar negeri dalam jenjang S3. Namun, uang yang banyak jika tidak dikelola dengan hati - hati sesuai aturan, ternyata juga membawa dampak yang kurang baik. Faktanya, sejak reformasi bergulir, tidak kurang dari tiga Gubernur Riau berurusan dengan hukum. Menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa bupati bahkan telah dan sedang menjalani hukuman karena tersandung kasus korupsi. Sampai hari ini, tidak kurang dari satu walikota aktif dan satu bupati aktif di Riau telah pula ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi. Begitupun dengan wakil rakyat di Riau. Pernah mereka berjamaah ditangkap dan ditahan KPK. Banyak pihak memprediksi, jumlah itu akan terus bertambah. Apalagi kos politik yang sangat tinggi ketika bersaing memperebutkan kursi kepala daerah atau menjadi wakil rakyat, terkadang membuat orang lupa aturan. Lalu berbuat sesuai keinginannya, tiba - tiba ditangkap KPK (OTT). Apa boleh buat, Riau kini sangat lekat dengan kata “korupsi”. Setiap kali kata itu dilafalkan, maka asosiasi orang pastilah salah satunya Provinsi Riau. Lebih Berkah Barangkali kondisi dan situasi di atas sangat disadari oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Riau yang baru, Bapak H. Syamsuar dan Bapak H. Edy Natar Nasution. Satu - satunya cara agar Riau terbebas dari perilaku koruptif dan perilaku menyimpang lainnya, adalah dengan mengajak dan membawa masyarakat Provinsi Riau lebih agamis (taat menjalankan perintah agama). Insya Allah dengan cara ini, kehidupan dan sistem pemerintahan di Provinsi Riau akan terasa jauh lebih berkah dan bermanfaat. Jauh dari berbagai marabahaya. Itu sebabnya sejak hari - hari pertama memimpin Negeri Melayu, Gubernur Syamsuar langsung membuat kebijakan - kebijakan yang sangat agamis. Misalnya, mengajak bahkan mewajibkan seluruh PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau untuk menunaikan kewajiban zakat dari gaji yang diterima setiap bulan dan disalurkan melalui Baznas Provinsi Riau. Jika seluruh PNS di lingkup Provinsi Riau yang berjumlah tidak kurang dari 18 ribu orang menunaikan kewajiban zakat penghasilan, maka miliaran rupiah akan terkumpul setiap bulan. Andai hal ini berlaku juga di seluruh kabupaten/kota Se Provinsi Riau, maka tidak tertutup kemungkinan suatu saat zakat penghasilan yang terkumpul bisa mencapai angka triliunan rupiah. Betapa banyak orang miskin atau kaum dhuafa yang bisa dibantu dan diberdayakan. Gubernur nampaknya terus bergerak. Baru - baru ini Gubernur bahkan meresmikan gerakan wakaf Rp 2 ribu per hari. Tidak tanggung - tanggung, Gubernur bahkan melibatkan Bank Indonesia (BI). Kebijakan yang lebih fenomenal adalah mengubah Bank Riau Kepri (BRK) dari sistem konvensional menjadi syari’ah. Dan, diulang Tahun Provinsi Riau yang ke 62 ini, Gubernur Riau sepakat mengangkat tagline/tema: “Riau Hijau dan Bermartabat”. Hijau dalam makna masyarakat Provinsi Riau bersepakat memelihara kelestarian lingkungan hidup, terhindar dari kebakaran hutan dan lahan, menjunjung tinggi nilai budaya Melayu dalam lingkup masyarakat yang agamis. Jika ini dapat terwujud, maka harga diri dan martabat masyarakat Riau dengan sendirinya tentu akan menjulang tinggi. Wallahu’alam. (Ruben). (Oleh: Erisman Yahya, Kabid Informasi dan Komunikasi Publik Diskominfotik Provinsi Riau/Sekretaris Komisi Informasi Provinsi Riau).

(nasional/admin)

KOMENTAR
Silahkan Login Untuk Mengisi Komentar