Selasa, 03 Desember 2019 - 08:25 WIB , Editor: alb,
Jayapura-Sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Jayapura dalam kasus akibat kerusuhan pada akhir Agustus 2019 lalu, diwarnai skorsing, protes penasehat hukum para terdakwa dan konfirmasi keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum yang oleh penasehat hukum dinilai sarat kejanggalan (Senin, 2/2/2019).
Skorsing terjadi saat saksi yang diajukan Jaksa bernama Hamka, anggota Polda Papua diajukan terlebih dulu untuk diperiksa. Sugeng Teguh Santoso, S.H., menyatakan keberatan dan meminta hukum acara pidana ditegakkan sebagaimana mestinya. Akhirnya, persidangan diskors beberapa menit setelah kemudian saksi pelapor hadir.
Seorang saksi bernama Heppy Salampesy, anggota Polda Papua bahkan mencabut isi daripada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menurutnya tidak pernah disampaikan, namun tercatat di BAP. Ia bahkan sudah menandatangani BAP tersebut. Pencabutan itu terjadi saat saksi menyatakan hanya memberikan 1 (satu) kali keterangan dihadapan penyidik. Setelah dikonfirmasi oleh penasehat hukum, ternyata BAP yang bersangkutan ada 2 (dua). Saksi juga tidak bisa mengidentifikasi ciri-ciri terdakwa pada saat melakukan pelemparan dengan alasan jumlah massa yang banyak melakukan pelemparan, sehingga penasehat hukum pun meragukan kebenaran keterangan saksi.
Anehnya, baik saksi Hamka maupun saksi Heppy Salampesy yang notabene anggota Polda Papua, tidak mendokumentasikan peristiwa pelemparan dengan alasan tidak sempat berfikir. Padahal, Heppy Salampesy menyatakan bahwa saat pengarahan dilakukan, pimpinannya memberi perintah untuk mengetahui pelaku, perbuatan tindak pidana yang dilakukan, barang bukti dan saksi.
Di sisi lain, Heppy Salampesy juga menjadi saksi untuk terdakwa lainnya, sehingga bagaimana mungkin satu saksi menjadi saksi untuk beberapa peristiwa dengan beberapa terdakwa di tempat dan waktu yang berbeda-beda? Oleh karena itu, Sugeng Teguh Santoso,SH menyampaikan bahwa " kami Tim Advokat untuk Orang Asli Papua (OAP) mendesak, antara lain:
1. Agar majelis hakim menerapkan Pasal 242 ayat (1) KUHP terhadap para saksi, sebab kuat dugaan keterangan para saksi yang disampaikan dibawa sumpah sarat kepalsuan. Pasal 242 ayat (1) KUHP berbunyi: "barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun";
2. Meminta majelis hakim menjamin rasa aman para terdakwa selama dilakukan penahanan di Rutan Polda Papua."Tegas Sugeng Teguh Santoso SH mengakhiri.
Seperti diketahui Tim Advokasi OAP singkatan dari Tim Advokasi Orang Asli Papua adalah tim yang terdiri dari Advokat lintas provinsi dari Medan, Jakarta, Papua dibawah bendera Peradi dengan Kepengurusan Dr Luhut MP Pangaribuan SH LLM yang mengusung Tagline Rumah Bersama Advokat(RBA) dan menjadi pengurus Peradi yang sah sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (*Rilis/DT)
(Jayapura/alb)