Rabu, 13 November 2019 - 07:34 WIB , Editor: ruben,
Pekanbaru | Tribunterkini- Semangat dan Energi Kepahlawan Indonesia adalah negara yang kuat. Potensi kekuatan negara Indonesia bertumpu pada modal dasar yakni jumlah penduduk yang besar.
Jumlah penduduk yang besar ini dibalut dengan semangat persatuan dan kesatuan yang enggan ditindas bangsa lain merupakan "Sesuai" yang sangat bernilai. Semangat ini pula yang membakar perang kemerdekaan 10 November 1945 di Surabaya. Perang itu menghalau kembali penjajahan di bumi Pancasila ini.
Perang itu telah menjadi momentum penting bahwa bangsa Indonesia yang baru merdeka tidak boleh dipandang remeh apalagi lemah, karena di dalam konflik bersenjata para pejuang dan pahlawan Indonesia selain berhasil mempertahankan Kota Surabaya juga telah menewaskan Brigadir Jenderal Mallaby komandan NICA (Nederland-Indie Civil Administration) yang memperkuat Negara Inggris.
Belum pernah ada jenderal tewas dalam peperangan setelah perang dunia kedua. Kehilangan Momentum Kepahlawanan Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya. Secara kuantitatif jumlah pahlawan perintis kemerdekaan 15 orang, Jumlah pahlawan revolusi 10 orang, Jumlah Pahlawan Nasional 179 orang.
Angka ini belum termasuk mereka yang berjasa kepada bangsa ini yang tidak tercatat dalam buku sejarah perjuangan bangsa dan dokumen resmi negara. Sejak peristiwa 10 November 1945 di Surabaya hingga kini sudah 74 tahun berlalu. Momentum perjuangan dan kepahlawan semakin memudar. Sulit dilihat tetapi mudah dirasakan.
Apabila dipetakan, sejak masa kemerdekaan hingga saat ini ada beberapa fase penting sejarah kebangsaan Indonesia yakni proklamasi, orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Indikator lunturnya semangat dan jiwa kepahlawanan di kalangan generasi muda menjadi indikator penting rapuhnya negara kesatuan RI.
Generasi muda sudah tidak mengenal siapa saja para pahlawan bangsa. Generasi muda lebih menokohkan tokoh-tokoh kontemporer asing yang tidak memiliki perasaan religious, kemanusiaan, kolektivisme, kerakyatan dan demokrasi serta keadilan sosial.
Hal ini telah dibuktikan di dalam beberapa kegiatan social experiment. Fungsi perekaman sejarah perjuangan bangsa sebagai ingatan informasi minim apresiasi. Kondisi ini rentan terhadap rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang hanya bisa ditanamkan sejak dini pada generasi milenial. Padahal perasaan itu dapat ditanamkan melaui ranah kognitif, yang melahirkan perasaan dan penghayatan (afeksi) sehingga membetengi nasionalisme dan patriotism sebagai psikomotorik.
Pendidikan sejarah perjuangan bangsa seolah-olah menjadi upaya dan harapan terakhir menumbuhkembangkan perasaan itu.
Formalisme pendidikan sejarah perjuangan bangsa merupakan salah satu cara, pada sisi lain perasaan Nasionalisme dan patriotism itu terus tergerus habis menurut deret ukur, ada pada darknumber memaparkan keadaan ini. Negara perlu mendiversifikasi instrument dan mekanisasi pendidikan sejarah perjuangan bangsa lebih luas ke sendi-sendi individu bangsa, agar di tahun 2030 bangsa Indonesia masih eksis.
Harus ada semacam pendidikan kolektif (collective learning) dalam struktur masyarakat dan kepemimpinan nasional agar tidak hilang jiwa-jiwa kepahlawanan, nasionalisme dan patriotism dalam dada mereka.
Globalisasi dan Kepahlawanan Bangsa, Globalisasi adalah kondisi yang sulit dihindari oleh bangsa-bangsa di seluruh dunks. Interaksi antar warga bangsa di dunia merupakan keniscayaan.
Multikulturalsime kerap dimaknai secara luas terbebas dari geopolitik, georgrafik bahkan geostate serta paham kebangsaan seperti nasionalisme dan patriotisme. Adresatnya adalah hanya kepentingan (interest). Kepentingan ini dikemas dalam kebutuhan individu atau kebutuhan suatu negara terhadap bangsa lain.
Tidak ada hubungan kerjasama baik diplomatik maupun hubungan dagang tanpa dilandasi capital relationship. Kegiatan investasi, asylum, naturalisasi merupakan cara-cara yang kerap digunakan untuk proses itu. Kewaspadaan akan mejadi kebutuhan di era scarcity (kelangkaan) sumber daya mineral di dunia ini. Kepentingan ini merupakan alasan utama bangsa lain berinteraksi dengan bangsa dan Negara Indonesia, yakni akses kepada sumber energi.
Tarik menarik kepentingan itu hanya dapat dimenangkan suatu pihak ketika pihak tersebut yakni negara pemenang yang paling memahami tujuan berbangsa dan bernegara. Tujuan itu merupakan kesepakatan para pendiri bangsa (the founding father) yakni para pejuang pahlawan bangsa. Lemahnya pemahaman generasi muda dan pemegang kebijakan nasional akan menjadi pintu masuk kepentingan asing yang merugikan bangsa dan negara Indonesia.
Dalam hubungan itu harus selalu ada kalkulasi rasional untuk mengukur dan membentengi kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Keadaan itu hanya dapat terjadi ketika para stakeholder mampu menterjemahkan nilai-nilai kepahlawan bangsa ke dalam proses kebijakan nasional. Nilai-nilai itu tentu saja ada di dalam butir-butir Pancasila dan ternormakan di dalam UUD 1945 sebagai staat fundamental norm dan grund norm (Hans Kelsen dan Nawiasky).
Indonesia adalah Negara Kekeluargaan dan Gotong-royong
Negara Indonesia dibentuk bukan merupakan negara perjanjian (factum subjectionis) dan bukan pula dibentuk karena sekedar kehendak bersatu (factum unionis), tetapi lebih daripada itu “Negara Indonesia adalah negara persatuan dan kesatuan yang dibentuk oleh rasa kekeluargaan dan jiwa gotong royong” yang diperjuangkan dengan pertumpahan darah dari para pahlawannya yang merebut dan memperjuangkan kemerdekaan. Apabila pemahaman mengenai pembentukan negara Indonesia dipahami sepenuhnya oleh generasi muda dan pengendali kebijakan nasional, maka rasanya sulit bagi bangsa lain untuk mengintervensi kepentingan bangsa ini.
Memori mengenai jasa pahlawan bangsa yang telah mengorbankan jiwa dan raganya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, suku, agama, dan golongannya akan selalu menjadi perekat rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Positivisasi sinkretisme budaya nasional harus ada dan melembaga (institutionalized), dia akan terpelihara sebagai identitas berbangsa dan bernegara dan juga menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang pada gilirannya mampu menghalau setiap budaya asing yang merugikan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila.
Oleh karenanya, Negara harus selalu hadir dan memfasilitasi setiap kegiatan yang memberikan makna nasionalisme dan patriotisme di kalangan pemuda dan kader pimpinan nasional. Maksudnya agar momentum kepahlawanan tetap terjaga dan energinya terus memancar ke segala penjuru nusantara.
Penutup, Akhirnya perlu direnungkan bahwa peristiwa hancurnya peradaban dan eksistensi suatu bangsa, misalnya Yugoslavia, Uni Soviet, Libya, Syria, Yaman, Irak, Libanon dan sebagainya pada hakikatnya bukan karena adanya intervensi dan pengaruh kuat bangsa lain saja, tetapi adanya ketidakmampuan bangsa itu mempertahankan identitas dan memelihara rasa persatuan serta kesatuan bangsanya yang ada dalam diri para pahlawan bangsa seperti ketika bangsa itu dahulu membebaskan dirinya dari imperealisme bangsa asing. Merdeka!!!. ***(DR. MIA AMIATI, SH, MH).
*) Penulis adalah Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Riau.
(Pekanbaru/ruben)