Jumat, 29 November 2019 - 19:17 WIB , Editor: ruben,
Pekanbaru | Tribunterkini- Pada acara kegiatan sosialisasi kebijakan perlindungan anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme yang diselenggarakan oleh Kementerian PPPA RI melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Riau, di Hotel Novotel Pekanbaru, Jumat (29/11/2019).
Nampak menghadiri acara Sosialisasi Kebijakan Perlindungan Anak Dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme di Provinsi Riau, Kementerian PPPA RI yang dalam hal ini diwakili oleh Asisten Deputi Perlindungan Anak Berhadapan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian PP dan PA RI, Bapak Hasan, SH, beserta rombongan, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Riau, Dinas PPPA Kota Pekanbaru, FKPT Riau, MUI Riau, Forum PUSPA, LAM Riau, Babinsa, Bhabinkantibmas, Pengurus Forum Anak Riau, Perwakilan Siswa-siwa SMA, SMK, TP PKK Riau, Kelompok Aktivis PATBM Kelurahan di Kota Pekanbaru, RUPARI, Yayasan Intan Payong, Awak Media.
Sambutan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Riau Dra. T. Hidayat Effiza, MM menyampaikan, kami atas nama Pemerintah Provinsi Riau menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada Kementerian PPPA RI atas kepercayaannya menunjuk Provinsi Riau sebagai salah satu tempat penyelenggaraan Sosialisasi Kebijakan ini.
Kami sangat menyambut baik inisiatif Kementerian PP dan PA RI yang secara intens mengupayakan peningkatan komitmen dalam pelaksanaan perlindungan anak melalui persamaan dan penyatuan persepsi terkait berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan anak dimaksud melalui pelibatan dan peran serta seluruh pihak terkait mulai dari unsur pemerintah, dunia usaha, lembaga profesi dan swadaya masyarakat, tenaga kependidikan, media, orangtua maupun anak, ujar Kepala Dinas PP dan PA Riau T. Hidayat Effiza.
Salah satu bentuk perlindungan anak oleh Negara diwujudkan melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, serta UndangUndang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan dan penyempurnaan, yakni dimulai dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, Perpu Nomor 1 Tahun 2016, serta yang terakhir melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
Pada Undang-Undang SPPA, Negara mengamanatkan tentang pemberian Keadilan Restoratif (Restoratif Justice) dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan, sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, ujar T. Hidayat Effiza.
Sebagaimana kita maklumi bersama, Stigma merupakan Hukuman sosial yang ditujukan kepada seseorang dikarenakan ada sesuatu hal yang berbeda dari biasanya dan cenderung sebagai hal yang memalukan dan aib, atau dalam ilmu sosiologi stigma diartikan sebagai perlakukan pada penyimpangan dengan pemberian cap sehingga seseorang kehilangan identitas sosialnya.
Pemberian label yang berkonotasi negatif sangat merugikan terlebih bila yang mengalami stigma tersebut adalah anak. Beberapa stigma yang sering terjadi dilingkungan sosial masyarakat dan sangat merugikan anak seperti penggunaan kata "Mantan Napi", "Anak/Keluarga Koruptor", "Anak/Keluarga Teroris. Perlakuan menyimpang tersebut bukanlah akibat dari perbuatan sang anak, yang menjadi korban dari latahnya kita menyikapi suatu persoalan tanpa mau mempertimbangkan sebab dan akibat yang ditimbulkan kedepannya.
Pemerintah Provinsi Riau telah mengupayakan berbagai tindakan prefentif untuk mencegah terjadinya kasus ini, diantaranya melalui advokasi pembentukan kelompok aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Forum Partisipasi Publik Untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) Lancang Kuning, serta penguatan fungsi Forum Anak sebagai Pelopor dan Pelapor, dimana anak-anak diminta berperan aktif memberikan advokasi pencegahan penyebaran paham radikal dilingkungan, ujar Kadis PP dan PA Provinsi Riau T. Hidayat Effiza.
Selanjutkan Asisten Deputi Perlindungan Anak Berhadapan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian PP dan PA RI Bapak Hasan, SH, menyampaikan beberapa materi pentingnya anak dilindungi dari Radikalisme dan tindak pidana terorisme, menyampaikan hal yang penting dan perlu dilakukan untuk mencegah paham Radikalisme dan tindak pidana terorisme;
- Mewaspadai orang tidak dikenal yang mengajarkan paham radikal dilingkungannya.
- Jangan mudah tertarik dengan janji-janji pelaku untuk melakukan tindakan terror dan kekerasan.
- Mendorong peran media massa untuk menyebarluaskan berbagai informasi penting tentang bahaya radikalisme dan tindak pidana terorisme.
Serta Hasan juga menyampaikan mengajak masyarakat untuk berpatisipasi dalam:
- Memberikan informasi tentang bahaya radiskalisme dan tindak pidana terorisme.
- Melakukan pemantauan, pengawasan dan ikut bertanggung jawab dalam upaya pencegahan radikalisme dan tindak pidana terorisme di lingkungannya.
- Mewujudkan lingkungan yang bersih dari radikalisme dan tindak pidana terorisme.
- Melaporkan kepada pihak berwenang bila ada warga masyarakat yang teridentifikasi akan melalukan tindak pidana terorisme.
- Menerima anak pelaku dan tidak menstigmatisasi karena pelabelan kondisi orang tua anak terlibat radikalisme dan tindak pidana terorisme.
Upaya menerima kembali anak pelaku atau anak dari pelaku;
- Membangun kembali kepercayaan masyarakat dengan cara melakukan komunikasi intensif.
- Memanfaatkan kearfikan lokal yang lebih mengutamakan pemulihan pada kondisi semula untuk mengembalikan anak pada lingkungan masyarakat (restorative justice).
- Memberikan edukasi berupa pemahaman kepada masyarakat bahwa anak pelaku sebernanya korban.
- Memastikan kepada masyarakat bahwa anak pelaku sudah dibina dengan bail dan sudah siap untuk dikembalikan ke masyarakat. Dan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan peserta, ditutup dengan foto bersama. ***(Rbn).
(Pekanbaru/ruben)